Sabtu, 11 Februari 2017

Kayu Penghantar Janji





Pada zaman dahulu sebelum era keislaman, hidup seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat jujur dan tak pernah ingkar janji. Suatu hari, si pemuda sangat membutuhkan uang untuk keperluannya. Ia pun meminjam sejumlah uang kepada seseorang yang ia kenal. Namun saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang piutang tersebut.

"Datangkan kemari para saksi yang akan mempersaksikan," ujar si peminjam uang.

"Cukuplah Allah sebagai saksi," kata si pemuda.

"Kalau begitu, datangkan kepadaku seorang penjamin," pinta si peminjam lagi.

Namun si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi saksi apalagi penjamin. Ia hanya bisa berucap, "Cukuplah Allah sebagai penjamin," kata si pemuda. Namun baginya, menyebut asma Allah dalam ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika dilanggar, ia amat takut Allah murka. Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. "Kau benar" katanya. Ia pun kemudian memberi pinjaman seribu dinar kepada sang pemuda. Keduanya pun menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.

Pergilah si pemuda mengarungi samudera, memenuhi kebutuhannya dengan uang pinjaman tersebut. Saat jatuh masa tempo pengembalian, ia pun bermaksud kembali ke pulau dimana si peminjam tinggal. Namun apa daya, tak ada layanan perahu menuju tempat si peminjam. Padahal di hari biasa perahu selalu tersedia, namun entah mengapa hari itu si pemuda tak mendapati satu pun perahu meski telah mencarinya dengan keras. Cemaslah hati pemuda, ia tak mau melanggar kesepakatan dan janji hutangnya.

Si pemuda tak mau berputus asa segera. Ia telah berjanji akan mengganti uang seribu dinar tersebut pada hari itu juga. Maka ia pun berfikir, bagaimana cara untuk memenuhi janjinya. Ia pun mengambil sepotong kayu, kemudian melubanginya. Uang seribu dinar itu kemudian ia masukkan pada lubang kayu tersebut. Tak lupa sepucuk surat kepada sang piutang juga diikutsertakan pada lubang kayu tersebut. Ia tutup lubang tersebut kemudian melarungnya kelaut seraya berdoa,

"Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar, lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, 'Allah cukup sebagai penjamin'. Ia pun ridha dengan-Mu. Ia juga meminta saksi kepadaku, akupun mengatakan 'Cukup Allah sebagai saksi'. Ia pun ridha kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu," ujar si pemuda bertawakal.

Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus laut. Namun meski telah memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si pemuda berhenti berusaha. Ia terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri seberang, dimana si peminjam hutang tinggal.

Sementara itu di negeri seberang, si piutang terus menengok dermaga menunggu perahu si pemuda. Namun lama nian, tak ada satu perahu pun yang menghantarkan uangnya kembali. Ia pun menunggu di tepi laut, berharap si pemuda menepati janjinya. Cukup lama menunggu, ia pun bosan. Namun tiba-tiba ia melihat sebongkah kayu yang hanyut. Bermaksud digunakan sebagai kayu bakar dirumahnya, ia pun memungutnya dan membawanya pulang. Terkejut, saat membelah kayu tersebut, ia mendapati uang seribu dinar dan sepucuk surat. Membaca surat tersebut, ia pun tersenyum riang.

Keesokan harinya, si pemuda muncul dengan wajah penuh cemas dan rasa bersalah. Turun dari perahu, ia bergegas menuju rumah si peminjam hutang. "Demi Allah, saya terus berusaha mencari perahu untuk menemuimu dan mengembalikan uangmu. Tapi aku tak memperoleh perahu hingga perahu sekarang ini yang aku datang dengannya," ujar si pemuda menjelaskan uzurnya.

Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan pemuda menepati janjinya. Ia pun berkata, "Apakah kau mengirim sesuatu kepadaku?" tanyanya. Namun si pemuda tak sedikitpun menyanka bahwa kayu kirimannya sampai tujuan, meski tanpa alamat, apalagi jasa kurir. "Aku katakan padmu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang kubawa sekarang ini," ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan pada si peminjam hutang. Wajah sang piutang pun merekah gembira. Ia senang mendapati pemuda yang begitu jujur dan menepati janji. Ia pun harus berkata jujur bahwa htangnya si pemuda telah lunas melalui kayu yang dikirimkannya sesuai tenggat waktu peminjaman. "Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di dalam kayu. Maka pergilah dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini," ujar si piutang.

Kisah pemuda dan sepotong kayu tersebut dikabarkan oleh Rasulullah dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Nasa'i. Tak dikabarkan jelas siapa nama pemuda tersebut dan latar lokasi tempat tinggal si pemuda dan si piutang.  Namun kisah tersebut dipastikan kebenarannya mengingat kedudukan hadits yang menyebutkan kisah tersebut memiliki derajat shahih.


Tekad sebelum Bertawakal

Drai kisah tersebut, terdapat hikmah agung yang dapat menjadi pelajaran bagi muslimin. Membulatkan tekad sangat dibutuhkan muslimin sebelum bertawakal kepada Allah. Hal tersebut tercantum dalam Al-Qur'an Surah Ali Imran ayat 159, Allah berfirman, "...Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."

Dalam kisah, si pemuda menunjukkan sikap memenuhi janji dengan ketekadan yang luar biasa. Hingga kemudian ia menyerahkan urusannya pada Allah dengan mengirimkan sepotong kayu. Ia bertawakal pada Allah agar suratnya sampai ke tujuan setelah memiliki tekad bulat dalam hatinya untuk memenuhi janjinya mengganti hutangnya.

Adapun tawakal sangat diperintahkan bagi setiap muslim baik dalam Al-Qur'an maupun hadits. Begitu banyak manfaat tawakal bagi muslimin, selain menumbuhkan keimanan, tawakal juga membuat urusan muslimin baik. "Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya," Qur'an Surah At-Thalaq ayat 3.


Published at: Islam Digest, Harian Republika
Afriza Web Developer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar