Credit image: trendwatching[dot]com |
Hoax bukanlah masalah yang menimpa bangsa ini seorang diri. Hampir semua negara mengalaminya, bahkan Amerika Serikat sekalipun. Namun negeri Paman Sam memiliki tradisi literasi hingga tak kaget ketika menghadapi era informasi yang begitu masif. Adapun bagi Indonesia yang miskin tradisi literasi, harus terseok-seok menghadapi hoax dan badai informasi.
Sebagai contoh, ada beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti. Hampir setiap grup itu memiliki satu atau dua orang yang gemar membagi informasi. Bukan hanya informasi berfaedah namun juga berita-berita hoax. Saat ditanya sumbernya, mereka menjawab enteng dari media sosial atau situs tertentu. Saat ditanya sudah diverifikasi belum, lagi-lagi mereka menjawab enteng bahwa foto dan video membuktikan kebenarannya.
Baiklah, mereka mungkin tak tahu bahwa kedua media itu pun bisa dimanipulasi layaknya tulisan. Namun saat terbukti apa yang mereka share adalah hoax, tanpa rasa bersalah mereka hanya mengucapkan terima kasih, kemudian mengulanginya di esok hari. Seakan-akan mereka justru berdosa jika tak menjadi penyebar terdepan informasi, alih-alih berdosa menyebarkan berita hoax.
Mereka ini bukan orang-orang yang tidak berpendidikan. Ada yang memiliki pekerjaan prestise, lulusan kampus ternama, bahkan bergelar magister luar negeri. Bayangkan betapa banyak di luar sana orang-orang seperti mereka, yakni seorang yang gila informasi dan berlomba-lomba menjadi orang pertama yang menyebarkannya. Mereka inilah ujung tombak penyebaran hoax meski bukan bagian dari pembuatnya.
Di akhir tahun 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika melansir data bahwa sedikitnya ada 800 situs yang diduga menyebarkan hoax, berita palsu dan ujaran kebencian. Itu baru situs, belum termasuk akun media sosial dan aplikasi chat pribadi seperti WhatsApp.
Mendata pihak penyebar hoax cukup sulit dilakukan. Pasalnya, sangat sulit memisahkan mana saja akun yang melakukan penyebaran hoax. Mengapa? karena hoax tidak memiliki standar layaknya konten pornografi yang jelas standarnya sebagai penyebar konten tulisan, foto atau video berbau porno.
Hal tersebut disampaikan Country Manager F5 Network Indonesia, Fetra Syahbana. Karenanyalah sangat sulit meredam hoax yang menjamur di tengah masyarakat. "Kesulitan kita untuk menyaring hoax karena memang belum ada standar baku, apakah ini asli atau palsu. Konten pornografi maupun kekerasan lebih mudah diatasi karena standarnya sudah jelas, misalnya ada gambar atau tulisan berbau pornografi," ujarnya dikutip dari liputan6.com.
Standar tersebut pula sulit dilakukan karena berita hoax amat sangat sulit diidentifikasi. Pasalnya, konten hoax secara kasa mata layaknya berita tepercaya dengan menampilkan banyak data yang dikemas layaknya fakta. Bahkan tak sedikit berita hoax yang mencatut nama seorang pakar atau tokoh ternama. Tak jarang pula konten hoax menyebut nama fiksi yang ditulis layaknya seorang pakar.
Chairman CISSReC (Communication and Information System Security Research Center), Pratama Persadha mengungkapkan, salah satu penyebab tersebarnya hoax adalah adanya budaya masyarakat yang merasa bangga jika dapat menjadi orang yang pertama kali menyebarkan berita, tanpa mempertimbangkan berita itu benar atau salah. Budaya tersebut kemudian difasilitasi dengan media yang jumlahnya tak sedikit, baik media sosial, situs berita serta WhatsApp.
“WhatsApp relatif lebih sulit untuk dipantau karena sifatnya tertutup. Penyebaran lewat WhatsApp ini sangat efektif dan cepat karena modal sosial budaya masyarakat yang gemar berbagi cerita,” ujarnya masih dilansir liputan6.com.
Penyebab lain, dijelaskan oleh Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Deddy Mulyana bahwa hoax tak lepas dari karakter masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan enggan berbeda pendapat. Topik yang cenderung sering dibahas pula terkait drama, misteri, kekerasan dan sensualitas.
“Sejak dulu orang Indonesia gemar berkumpul dan bercerita. Sayangnya, apa yang dibicarakan belum tentu benar. Sebab, budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data. Sedangkan media sosial, sebagai sumber berita hoax, adalah kepanjangan panca indera manusia,” Kata Deddy kepada Tekno Liputan6.com.
Ketidakmampuan mengolah data dan rendahnya kecerdasan literasi, lanjut Deddy, membuat masyarakat Indonesia makin kesulitan menghadapi hoax. Hasilnya hoax dikonsumsi dengan sangat mudah. Indonesia kemudian kelimpungan menghadapi hoax yang begitu banyak tersebar.
Senada, Dosen dan Wakil Dekan III FKIP Universitas Islam Malang, Muhammad Yunus menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia masuk dalam tiga golongan sekaligus, yakni masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low-trust society)., masyarakat dengan tingkat literasi rendah (low-literacy society), serta masyarakat dengan tingkat ilmiah yang rendah (low-scientific society). Ketiganya menyebabkan masyarakat sangat mudah terpapar berita hoax.
Dijelaskan Yudi, low-trust society yakni masyarakat merasa tidak percaya kepada pemerintah. Terjadi kekecewaan yang mampu menyebabkan dekadensi nalar-etis. Sementara itu masyarakat juga mengalami tingkat literasi yang rendah yang kemudian berdampak pada tingkat ilmiah yang rendah pula karena nalar ilmiah hanya diperoleh dengan rajin membaca buku.
“Kemampuan literasi yang baik akan bermuara pada kemampuan mencerna, mengkritisi, mengevaluasi, menginferensi, menangkap pesan, membaca penulis, dan gaya tulisnya setiap teks yang dibacanya. Jika kita tidak mempunyai kemampuan ini sementara media sosial dengan gelombang informasi yang begitu dahsatnya, maka keniscayaan informasi itu akan ditelan mentah-mentah,” tuturnya, dikutip dari timesindonesia.com.
Dari penjelasan para pakar di atas, jelaslah bahwa apa yang perlu dibenahi masyarakat, yakni menanamkan budaya literasi. Inilah cara efektif mengingat sulitnya mengatasi hoax yang tersebar layaknya kacang goreng. Hoax yang sulit teridentifikasi ini menyulitkan pemerintah mengambil tindakan, juga menyulitkan perusahaan media sosial untuk memberikan batasan. Karenanyalah, hoax harus dilawan setiap individu. Dari individu, perubahan dapat dilakukan, budaya dapat digalakkan. Jadi, mari membaca, mari berubah!
Published at: ridwanloekito.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar