“Nggak Sarapan, Nggak Dapet Uang Jajan” demikian aturan bulat
ibu, untuk aku dan tiga saudaraku. Aturan itu sangat terlarang untuk kami usik
apalagi revisi. Nahasnya, aturan itu pula menjadi momok terbesar di setiap
pukul enam pagi.
Akan kujelaskan mengapa aturan sarapan ibu menjadi momok
terbesar di pagi hari. Pertama, jarak rumah dan sekolahku sekitar 13 kilometer.
Aku harus berangkat pukul setengah enam pagi jika tak ingin terlambat. Kalau
kesiangan 15 menit saja, bersiap menghabiskan waktu satu jam pelajaran dengan
berdiri tegap dan hormat ke tiang bendera. Apa hubungannya dengan sarapan? Karena sarapan membutuhkan waktu 15 menit yang sangat krusial itu.
Kedua, sarapan nasi adalah harus. Yap, orang Indonesia baru
dianggap makan kalau sudah makan nasi. Sementara ibuku orang Indonesia asli
dari generasi 60-70an. Jangankan generasi jadul, beberapa generasi milenial pun
masih menganggap makan adalah nasi. Yang lebih mengherankan adalah, ibuku rela
memasak sebelum shubuh hanya demi anak-anak. Bahkan ibu selalu menjamin sarapan
sudah tersaji di meja sebelum pedagang nasi uduk membuka warungnya. Seribu
jempol untuk ibuku tercinta.
Aku selalu patuh pada aturan sarapan ibu, dengan rela bangun
lebih pagi, bahkan sarapan sebelum mandi jikalau harus mengantre kamar mandi.
Jika ada orang yang selalu melanggar aturan itu, maka ia adalah kakak
perempuanku. Apa dia tak dapat uang saku? Jelas, ibuku sangat tegas. Dia
benar-benar tak mendapat sepeser pun uang jajan. walaupun pada akhirnya kakakku
akan meminta uang jajanku saat di sekolah nanti. Menyebalkan tapi apa boleh
buat. Bayangkan saja bagaimana laparnya kakakku; tak sarapan dan tak bisa jajan
di sekolah. Maka kusimpulkan melanggar aturan sarapan hanyalah cari masalah.
Waktu berlalu, aturan sarapan itu masih menjadi momok besar
bertahun-tahun, hingga usiaku dewasa. Tepatnya, saat aku harus merantau ke
Jakarta untuk kuliah di salah satu kampus ternama negeri ini (mungkin rutinitas
sarapan itu pula yang menunjang kecerdasanku hingga lolos ujian masuk perguruan
tinggi negeri). Saat itulah aku tersadar, betapa aturan sarapan yang ibu buat
sangat berharga. Betapa besar syukurku pada ibu, aturannya, dan kelelahannya
membuat sarapan setiap pagi.
Ternyata aturan sarapan bertahun-tahun itu menjadi sebuah
pola sehat di tubuhku. Meski ibu tak bisa mengawasiku lagi untuk selalu
sarapan, namun tubuhku memiliki alarm aturan itu. Aku pernah melanggarnya saat
kuliah pagi dan hendak presentasi. Hasilnya, tubuh terasa sangat lemas, pikiran
tak fokus, presentasiku hancur lebur. Saat aku melanggar aturan sarapan itu
berkali-kali, ternyata aku harus ke dokter dan terindikasilah gejala penyakit maag.
Sejak itu, aku seakan menjadi agen pendukung aturan sarapan.
Aku tak bisa lancar beraktivitas tanpa sarapan. Namun kondisi kali ini sudah
berbeda. Dahulu aturan sarapan ibu adalah momok besar, sedangkan kini aku
melakukannya karena kesadaran diri.
Namun masalahnya, tak ada lagi sosok yang menyiapkanku
sarapan. Statusku sudah menjadi mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua.
Satu-satunya penyelamatku kala itu adalah minuman sarapan yang sangat terkenal.
Yap, Energen. Sungguh betapa besar rasa syukurku karena adanya produk praktis
energen untuk aturan sarapanku sebelum jam sembilan.
Kini, aku masih taat dengan aturan sarapan. Lebih dari itu,
aku pun ternyata menjadi pemilik aturan itu, seakan mengambil tongkat estafet
dari ibuku.
Estafet itu terjadi ketika aku menjadi seorang ibu. Meski
saat ini putraku masih balita, tanpa sadar aku menerapkan aturan sarapan yang
dulu menjadi momok besar di masa kecilku. Bedanya, aku menghilangkan dua momok
aturan sarapan yang mengerikan. Artinya, sarapan bisa dilakukan kurang dari 5
menit, dan tak selalu harus nasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar