Selasa, 27 Februari 2018

Law of SARAPAN




Nggak Sarapan, Nggak Dapet Uang Jajan” demikian aturan bulat ibu, untuk aku dan tiga saudaraku. Aturan itu sangat terlarang untuk kami usik apalagi revisi. Nahasnya, aturan itu pula menjadi momok terbesar di setiap pukul enam pagi.

Akan kujelaskan mengapa aturan sarapan ibu menjadi momok terbesar di pagi hari. Pertama, jarak rumah dan sekolahku sekitar 13 kilometer. Aku harus berangkat pukul setengah enam pagi jika tak ingin terlambat. Kalau kesiangan 15 menit saja, bersiap menghabiskan waktu satu jam pelajaran dengan berdiri tegap dan hormat ke tiang bendera. Apa hubungannya dengan sarapan? Karena sarapan membutuhkan waktu 15 menit yang sangat krusial itu.

Kedua, sarapan nasi adalah harus. Yap, orang Indonesia baru dianggap makan kalau sudah makan nasi. Sementara ibuku orang Indonesia asli dari generasi 60-70an. Jangankan generasi jadul, beberapa generasi milenial pun masih menganggap makan adalah nasi. Yang lebih mengherankan adalah, ibuku rela memasak sebelum shubuh hanya demi anak-anak. Bahkan ibu selalu menjamin sarapan sudah tersaji di meja sebelum pedagang nasi uduk membuka warungnya. Seribu jempol untuk ibuku tercinta.

Aku selalu patuh pada aturan sarapan ibu, dengan rela bangun lebih pagi, bahkan sarapan sebelum mandi jikalau harus mengantre kamar mandi. Jika ada orang yang selalu melanggar aturan itu, maka ia adalah kakak perempuanku. Apa dia tak dapat uang saku? Jelas, ibuku sangat tegas. Dia benar-benar tak mendapat sepeser pun uang jajan. walaupun pada akhirnya kakakku akan meminta uang jajanku saat di sekolah nanti. Menyebalkan tapi apa boleh buat. Bayangkan saja bagaimana laparnya kakakku; tak sarapan dan tak bisa jajan di sekolah. Maka kusimpulkan melanggar aturan sarapan hanyalah cari masalah.

Waktu berlalu, aturan sarapan itu masih menjadi momok besar bertahun-tahun, hingga usiaku dewasa. Tepatnya, saat aku harus merantau ke Jakarta untuk kuliah di salah satu kampus ternama negeri ini (mungkin rutinitas sarapan itu pula yang menunjang kecerdasanku hingga lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri). Saat itulah aku tersadar, betapa aturan sarapan yang ibu buat sangat berharga. Betapa besar syukurku pada ibu, aturannya, dan kelelahannya membuat sarapan setiap pagi.

Ternyata aturan sarapan bertahun-tahun itu menjadi sebuah pola sehat di tubuhku. Meski ibu tak bisa mengawasiku lagi untuk selalu sarapan, namun tubuhku memiliki alarm aturan itu. Aku pernah melanggarnya saat kuliah pagi dan hendak presentasi. Hasilnya, tubuh terasa sangat lemas, pikiran tak fokus, presentasiku hancur lebur. Saat aku melanggar aturan sarapan itu berkali-kali, ternyata aku harus ke dokter dan terindikasilah  gejala penyakit maag.

Sejak itu, aku seakan menjadi agen pendukung aturan sarapan. Aku tak bisa lancar beraktivitas tanpa sarapan. Namun kondisi kali ini sudah berbeda. Dahulu aturan sarapan ibu adalah momok besar, sedangkan kini aku melakukannya karena kesadaran diri.

Namun masalahnya, tak ada lagi sosok yang menyiapkanku sarapan. Statusku sudah menjadi mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua. Satu-satunya penyelamatku kala itu adalah minuman sarapan yang sangat terkenal. Yap, Energen. Sungguh betapa besar rasa syukurku karena adanya produk praktis energen untuk aturan sarapanku sebelum jam sembilan.

Kini, aku masih taat dengan aturan sarapan. Lebih dari itu, aku pun ternyata menjadi pemilik aturan itu, seakan mengambil tongkat estafet dari ibuku.
Estafet itu terjadi ketika aku menjadi seorang ibu. Meski saat ini putraku masih balita, tanpa sadar aku menerapkan aturan sarapan yang dulu menjadi momok besar di masa kecilku. Bedanya, aku menghilangkan dua momok aturan sarapan yang mengerikan. Artinya, sarapan bisa dilakukan kurang dari 5 menit, dan tak selalu harus nasi.



Afriza Web Developer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar