Minggu, 12 Maret 2017

Napak Tilas Masjid para Wali



Credit Image: idsejarah.net

Sembilan wali, atau yang lebih familiar dengan walisongo, membangun sebuah masjid yang kemudian menjadi markas dakwah Islam di pulau Jawa. Dahulu, inilah satu-satunya masjid di tanah Jawi. Kini, tak ada yang berubah dari pesonanya. Arsitekturnya yang unik, ditambah berkembangnya cerita mistis, menjadikannya destinasi favorit wisata religi hingga kini.

Inilah Masjid Agung Demak, masjid para wali yang pertama berdiri di Pulau Jawa. Masjid ini pula yang berkiprah besar dalam penyebaran Islam kepada masyarakat Jawi. Mereka para wali yang menjadikan Masjid Agung Demak sebagai pusat dakwah yakni Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Darajat, Sunan Giri dan Syekh Lemah Abang atau Siti Jenar.

Konon cerita, Masjid Agung Demak didirikan oleh kesembilan walisongo. Mereka bersama-sama membangun masjid tersebut hanya dalam waktu satu malam. Entah benar atau tidak, inilah yang dipercayai masyarakat. Dengan 'kesaktian' para wali, masjid ini terbangun megah.

Tahun pembangunan masjid hingga kini tak dapat dipastikan. Menurut Babad Demak, masjid ini berdiri pada 1399 tahun saka atau 1477 Masehi. Berbeda dari catatan babad, gambar bulus pada mihrab masjid menunjukkan angka tahun 1401 saka atau 1479 Masehi.

Adapun sang arsitek masjid bukan lain adalah Sunan Kalijaga, salah satu sunan dari walisongo yang terkenal sangat cerdas. Gaya arsitek Masjid Agung Demak merupakan sebuah upaya akulturasi budaya Islam dengan budaya masyarakat setempat. Kita mengenal walisongo merupakan kumpulan ulama negeri ini yang berdakwah melalui upaya akulturasi. Mereka menggunakan budaya yang telah ada sebagai sarana dakwah. Itu pula yang dilakukan Sunan Kaliaga saat mendesain gaya arsitektur Masjid Agung Demak.

Saat itu budaya Hindu-Budha lah yang mendominasi masyarakat Indonesia. Maka tak heran jika kemudian bentuk Masjid Agung Demak menyerupai candi ataupun stupa. Hal ini nampak jelas pada bentuk atap masjid yang berundak-undak atau yang disebut dengan meru.

Bentuk meru merupakan sebuah atap dengan susunan yang biasanya berjumlah ganjil. Susunan tersebut makin tinggi makin mengecil hingga membentuk limas. Pada tradisi Hindu-Budha, atap bertingkat mengerucut tersebut menunjukkan makna vertikalitas dan kekuasaan Tuhan.

Karena makna tersebut, setiap bangunan suci Hindu-Budha wajib beratapkan meru. Maka ketika Sunan Kalijaga mendesain gaya masjid yang merupakan bangunan suci umat Islam, sang sunan pun mengadopsi tradisi tersebut. Sebagai upaya akulturasi dengan budaya Islam, atap Masjid Agung Demak dibentuk tumpang tiga yang memiliki arti iman, Islam dan ikhsan.

Di kemudian hari, gaya arsitek Masjid Agung Demak ini menjadi trendsetter masjid-masjid lain di nusantara. Hampir semua masjid di Jawa mengadopsi gaya akulturasi tersebut. Sebut saja Masjid Menara Kudus, Masjid Sunan Kalijaga, Masjid Agung Banten, Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Agung Pondok Tinggi, dan lain sebagainya.

Gaya arsitektur akulturasi ini terus lestari hingga era kemerdekaan. Beberapa masjid di nusantara mulai berkiblat ke Timur Tengah. Nampak saat dibangunnya Masjid Istiqlal di Jakarta yang berkubah mengikuti gaya masjid timur tengah. Begitu pula Masjid Baiturrahman di Aceh yang juga berkubah indah. Hingga kini, banyak masjid yang mengalami renovasi untuk mengikuti gaya megah berkubah dan bermenara tinggi.

Namun hal itu tidak dilakukan Majid Agung Demak. Melintasi masa, masjid yang berlokasi di Bintoro tersebut mengalami berkali-kali renovasi. Namun tak banyak yang berubah dari bangunan pertama kali berdiri hingga kini. Pantas saja jika pada tahun 1995 lalu, Masjd Agung Demak dicalonkan masuk ke dalam daftar situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1995.

Published at: muslimahdaily.com

Afriza Web Developer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar