Alkisah, di akhir era tabi’in hidup seorang pemuda bernama Tsabit bin Zutho. Tsabit merupakan seorang pria tampan yang sangat saleh dan berilmu. Pada suatu hari, Tsabit menemukan sebuah apel segar tengah hanyut mengikuti aliran jernih sungai kota Kufah. Tanpa pikir panjang, Tsabit pun mengambil apel merah nan ranum tersebut. Ia sangat lapar kala itu hingga segera memakannya.
Namun baru segigit, Tsabit teringat satu hal, "Milik siapakah apel ini? Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku," ujar Tsabit. Ia menyesal telah memakan buah yang bukan miliknya. Padahal ia menemukan apel itu di sungai. Siapa pun berhak mengambilnya. Namun Tsabit merupakan seorang pemuda yang sangat berhati-hati dan enggan pada sesuatu yang haram meski secuil. Maka ia pun kemudian menyusuri sungai. Tujuannya satu, menemukan pemilik apel hanyut itu dan meminta keridhaannya.
Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai, hingga ia menemukan sebuah kebun apel yang cukup luas di bantaran sungai. Buah ranum apel bergelayutan di antara ranting-ranting pohon yang menjalar hingga sungai. “Pastilah apel yang kumakan jatuh dari salah satu pohon di kebun ini,” pikir Tsabit.
Ia pun menghampiri seorang pria yang tengah menjaga kebun apel tersebut. Dengan sopan ia meminta keridhaannya, "Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?" kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakannya sedikit.
Namun pria itu hanyalah penjaga kebun dan bukan sang pemilik, "Bagaimana saya dapat memaafkanmu sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebun lah yang berhak memaafkanmu," ujarnya.
"Lalu dimanakah pemiliknya?" tanya Tsabit.
"Rumahnya cukup jauh, sekitar delapan kilometer dari sini," kata si penjaga kebun.
Delapan kilometer bukan lah jarak yang dekat, namun Tsabit melakoninya. Ia tetap pergi untuk menemui si pemilik kebun. Setibanya di rumah pemilik kebun, Tsabit sangat gelisah. Ia khawatir jika pemilik kebun tak meridhainya. Betapa mulianya hati Tsabit padahal ia hanya memakan sebuah apel yang ia temukan di sungai.
Sang pemilik kebun merupakan seorang pria tua. Tsabit pun segeramengucapkan salam dan meminta keridhaannya atas sebuah apel. “Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan anda atas apel ini. Apakah anda meridahainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit masih memegang apel yang ditemukannya.
Namun jawaban pria itu sungguh mengejutkan. “Tidak, saya tidak meridhaimu, anak muda,” kata pemilik kebun. Tsabit benar-benar tersentak.
"Apa yang bisa saya lakukan agar Anda ridha, wahai Hamba Allah?" tanya Tsabit khawatir.
"Demi Allah, saya tidak memaafkanmu, kecuali jika kau memenuhi sebuah syarat," ujar pemilik kebun.
"Persyaratan apakah itu?" tanya Tsabit lagi.
"Kau harus menikahi putriku," jawaban pria tua pemilik kebun lebih mengejutkan lagi. Belum tuntas urusan apel, sekarang Tsabit justru berurusan dengan pernikahan. Lagi pula, pikir Tsabit, menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman. Itu adalah hadiah.
“Benarkah itu adalah sebuah syarat? Anda memaafkan saya namun saya diminta menikahi putri anda. Itu adalah anugerah yang besar," tutur Tsabit.
"Perlu kau tahu, nak. Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Ia tak mampu erdiri dan berjalan. Jika kau menerimanya, maka saya akan memaafkanmu," kata pria tua. Tsabit kaget bukan main. Namun tak ada pilihan lain, ia lebih baik menikahi wanita cacat daripada memakan apel haram yang tak diridhai. Ia pun menerima syarat tersebut.
Akad nikah pun digelar. Ia kemudian memasuki kamar pengantin dengan hati campur aduk. Ingin rasanya Tsabit mundur, namun ia bertekad mendapat kehalalan atas apa yang telah ia makan. Sang pria muda tampan itu pun memasuki kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu. Ia bahkan menjumpai sosok wanita di dalam kamar itu merupakan gadis muda yang sangat cantik. Wanita itu berdiri dan jalan menghampirinya. Tak ada satupun anggota tubuhnya yang cacat. Tsabit pun hendak keluar kamar karena mengira telah salah memasuki kamar. Namun gadis cantik itu menjelaskan bahwa dia adalah benar istrinya.
"Apa sebenarnya yang telah dikatakan ayah tentang aku?" tanya si gadis yang bingung mendapati suaminya tak percaya.
"Ayahmu berkata bahwa kau seorang wanita buta, bisu, tuli dan lumpuh," kata Tsabit.
"Demi Allah, ayahku berkata dengan jujur. Aku buta dari melihat segala sesuatu yang dimurkai Allah. Aku bisu dari mengucapkan kalimat yang membuat Allah murka. Aku tuli karena tidak pernah mendengar satu kalimat pun kecuali di dalamnya terdapat Ridha Allah. Aku pun lumpuh karena tak pernah melangkahkan kaki ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis cantik nan shalehah tersebut. Tsabit pun begitu terpesona. Ia mengucapkan syukur atas anugerah wanita shalihah yang ia dapatkan hanya melalui sebuah apel yang hanyut di sungai.
Dari pernikahan pasangan Tsabit si pemuda shalih dan istrinya yang shalihah tersebut, lahir seorang ulama besar dunia sekaligus imam besar kaum muslimin. Putra mereka yakni Nu'man bin Tsabit atau yang lebih dikenal Imam Abu Hanifah.
Published at: muslimahdaily.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar