Image Credit: yooniqimage[dot]com |
Menonton sebuah video via YouTube yang menggambarkan ketertiban
masyarakat Jepang benar-benar telah membuat saya iri setengah mati. Padahal
video itu hanya menampilkan warga Jepang yang sangat teratur saat naik dan
turun atau masuk dan keluar dari kereta. Sebuah kebiasaan yang sebetulnya
sederhana, namun ternyata sangat langka dilakukan warga Indonesia.
Digambarkan bagaimana mereka, masyarakat Jepang, menunggu kereta
datang dengan berbaris di sebuah garis yang menunjukkan titik terbukanya pintu
kereta. Ada dua barisan teratur di setiap tanda. Begitu kereta datang dan pintu
terbuka, barisan ini tidak segera masuk melainkan menyingkir ke samping. Mereka
memberikan jalan tengah untuk penumpang yang hendak keluar. Setelah tak ada
lagi yang keluar, barulah mereka masuk. Pun masih dalam bentuk barisan saat
menunggu. Benar-benar rapi dan tertib.
Begitu menontonnya segera saja benak dihinggapi pertanyaan besar,
bisakah masyarakat Indonesia melakukan hal sama? apa yang dilakukan masyarakat
Jepang hingga mencapai taraf budaya tertib setinggi itu?
Saya kemudian membandingkan pengalaman naik kereta Computer Line
Jabodetabek. Tentu tak ada barisan menunggu kecuali orang berkumpul di garis
batas peron. Begitu pintu kereta dibuka, semua orang berebut ingin masuk
sementara penumpang yang telah tiba tujuan belum turun. Alhasil, terjadi
desakan orang yang sangat tidak nyaman.
Tak heran jika saat rush hours, sering kali terjadi
penumpang terinjak kakinya, terjepit pintu kereta, terjatuh, hingga terjerembap
tak bisa keluar. Keruwetan ini bukannya justru membuat orang sadar untuk tertib,
melainkan lebih sigap dan siaga agar tak ‘tergerus’ massa.
Di situlah titik sulitnya, jika kita sadar untuk tertib, namun
orang lain tidak melakukannya, maka kita yang akan menjadi “korban”. Mau tak
mau, penumpang dituntut untuk sigap, cepat, mampu menerobos dan tak peduli
sekitar. Jika tak memiliki kecakapan tersebut, maka kita akan selalu tertinggal
kereta, tak dapat celah masuk ataupun keluar.
Etika ini sudah menjadi kebiasaan warga Jakarta dan kota-kota
satelitnya. Kebiasaan ini telah mengakar hingga menjadi karakter, kepribadian
ataupun mental yang sangat sulit diubah. Namun sulit bukan berarti mustahil.
Sulit bukan berarti tidak bisa.
Sebelumnya kita perlu menilik penyebab kepribadian masyarakat
Indonesia yang sulit tertib dan malas mengantre serta sifat egois dan enggan
melihat kepentingan orang lain. Dalam hal ini, enggan melihat penumpang lain
yang sama-sama memiliki kepentingan, yakni sama-sama ingin cepat sampai tujuan.
Kepribadian individualistik seakan telah melekat hingga sulit membangun mental
untuk tertib.
Kepribadian manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang ada di
lingkungan sekitar. Latar belakang lingkungan yang berbeda akan menghasilkan
kepribadian yang berbeda pula. Mengenai korelasi kebudayaan dan kepribadian
masyarakat ini dijelaskan oleh sosiolog Soerjono Soekanto bahwa ada lima tipe
kebudayaan yang dapat membentuk kepribadian individu. Salah satunya yakni cara
hidup di kota dan di desa yang berbeda. Masyarakat kota yang heterogen dan
individualis tidak dapat disamakan dengan masyarakat desa yang homogen dan
kolektif.
Sebagai contoh, budaya gotong royong membentuk kepribadian
solidaritas sosial, rela berkorban, peka terhadap masalah sosial, memiliki
sifat partikularisme atau kebersamaan. Namun sayangnya, budaya gotong royong
hanya ditemui di pedesaan saja. Budaya ini nyaris lenyap di kalangan warga
kota.
Sebaliknya, budaya orang kota justru memberikan penghargaan harkat
martabat seseorang berdasarkan prestasi kerja dan kepemilikan harta benda.
Budaya ini telah membentuk kepribadian masyarakat kota yang menghargai waktu
namun tak menghargai kerja sama. mereka egois dan hanya giat menuntut kemajuan
yang bersifat masa depan. Pun budaya kompetisi hidup yang kuat di ranah
masyarakat kota. kebudayaan ini telah membunuh sifat solidaritas dan
menumbuhkan sifat individualistik dan cenderung berani melanggar norma.
Sebetulnya beberapa budaya pedesaan merupakan jati diri asli bangsa
ini. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, seiring masuknya pengaruh asing,
budaya itu makin terkikis. Lagi pula sifat budaya memang dinamis. Perubahannya
bahkan sering kali terjadi tanpa kita sadari. Contoh sederhana, cobalah menilik
foto kita beberapa tahun silam. Bandingkan dengan kita yang sekarang. Tanpa
kita sadari, kita juga telah melakukan perubahan, entah dari segi gaya
berpakaian, model sepatu, menu makanan yang disantap dan lain sebagainya.
Maka membangkitkan kembali semangat gotong royong, terutama di
perkotaan, dapat merevolusi mental masyarakat yang mulai buruk kini. Gotong
royong merupakan awalan, selanjutnya budaya luhur bangsa satu per satu dibenahi
seperti budaya tepa selira, budaya kumpul sosial dan lain sebagainya. Buatlah
aksi awal di lingkungan sekitar. Meski kecil, jika dilakukan banyak orang, tak
ayal kepribadian bangsa akan pulih.
Namun untuk membangun semua itu, tentu butuh waktu yang tak
singkat. Sembari proses membangun manusia tersebut, pemerintah bertugas
memperbaiki sarana prasarana yang ada. Sebut saja meningkatkan kualitas dan
kuantitas kereta, memfasilitasi peron yang nyaman untuk mengantre serta
menjamin ketepatan waktu kereta.
Jika keduanya berjalan bersama, membangun manusia sekaligus
membangun sarana prasarana, bukan hal mustahil bagi Indonesia menyaingi kemajuan
dan ketertiban Jepang dalam waktu 10 hingga 20 tahun lagi.
Published at: ridwanloekito.id
Published at: ridwanloekito.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar