Selasa, 09 Mei 2017

Opini: Yuk Tertib Keluar-Masuk Kereta


Image Credit: yooniqimage[dot]com


Menonton sebuah video via YouTube yang menggambarkan ketertiban masyarakat Jepang benar-benar telah membuat saya iri setengah mati. Padahal video itu hanya menampilkan warga Jepang yang sangat teratur saat naik dan turun atau masuk dan keluar dari kereta. Sebuah kebiasaan yang sebetulnya sederhana, namun ternyata sangat langka dilakukan warga Indonesia.

Digambarkan bagaimana mereka, masyarakat Jepang, menunggu kereta datang dengan berbaris di sebuah garis yang menunjukkan titik terbukanya pintu kereta. Ada dua barisan teratur di setiap tanda. Begitu kereta datang dan pintu terbuka, barisan ini tidak segera masuk melainkan menyingkir ke samping. Mereka memberikan jalan tengah untuk penumpang yang hendak keluar. Setelah tak ada lagi yang keluar, barulah mereka masuk. Pun masih dalam bentuk barisan saat menunggu. Benar-benar rapi dan tertib.

Begitu menontonnya segera saja benak dihinggapi pertanyaan besar, bisakah masyarakat Indonesia melakukan hal sama? apa yang dilakukan masyarakat Jepang hingga mencapai taraf budaya tertib setinggi itu?

Saya kemudian membandingkan pengalaman naik kereta Computer Line Jabodetabek. Tentu tak ada barisan menunggu kecuali orang berkumpul di garis batas peron. Begitu pintu kereta dibuka, semua orang berebut ingin masuk sementara penumpang yang telah tiba tujuan belum turun. Alhasil, terjadi desakan orang yang sangat tidak nyaman.

Tak heran jika saat rush hours, sering kali terjadi penumpang terinjak kakinya, terjepit pintu kereta, terjatuh, hingga terjerembap tak bisa keluar. Keruwetan ini bukannya justru membuat orang sadar untuk tertib, melainkan lebih sigap dan siaga agar tak ‘tergerus’ massa.

Di situlah titik sulitnya, jika kita sadar untuk tertib, namun orang lain tidak melakukannya, maka kita yang akan menjadi “korban”. Mau tak mau, penumpang dituntut untuk sigap, cepat, mampu menerobos dan tak peduli sekitar. Jika tak memiliki kecakapan tersebut, maka kita akan selalu tertinggal kereta, tak dapat celah masuk ataupun keluar.

Etika ini sudah menjadi kebiasaan warga Jakarta dan kota-kota satelitnya. Kebiasaan ini telah mengakar hingga menjadi karakter, kepribadian ataupun mental yang sangat sulit diubah. Namun sulit bukan berarti mustahil. Sulit bukan berarti tidak bisa.

Sebelumnya kita perlu menilik penyebab kepribadian masyarakat Indonesia yang sulit tertib dan malas mengantre serta sifat egois dan enggan melihat kepentingan orang lain. Dalam hal ini, enggan melihat penumpang lain yang sama-sama memiliki kepentingan, yakni sama-sama ingin cepat sampai tujuan. Kepribadian individualistik seakan telah melekat hingga sulit membangun mental untuk tertib.

Kepribadian manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sekitar. Latar belakang lingkungan yang berbeda akan menghasilkan kepribadian yang berbeda pula. Mengenai korelasi kebudayaan dan kepribadian masyarakat ini dijelaskan oleh sosiolog Soerjono Soekanto bahwa ada lima tipe kebudayaan yang dapat membentuk kepribadian individu. Salah satunya yakni cara hidup di kota dan di desa yang berbeda. Masyarakat kota yang heterogen dan individualis tidak dapat disamakan dengan masyarakat desa yang homogen dan kolektif.

Sebagai contoh, budaya gotong royong membentuk kepribadian solidaritas sosial, rela berkorban, peka terhadap masalah sosial, memiliki sifat partikularisme atau kebersamaan. Namun sayangnya, budaya gotong royong hanya ditemui di pedesaan saja. Budaya ini nyaris lenyap di kalangan warga kota.

Sebaliknya, budaya orang kota justru memberikan penghargaan harkat martabat seseorang berdasarkan prestasi kerja dan kepemilikan harta benda. Budaya ini telah membentuk kepribadian masyarakat kota yang menghargai waktu namun tak menghargai kerja sama. mereka egois dan hanya giat menuntut kemajuan yang bersifat masa depan. Pun budaya kompetisi hidup yang kuat di ranah masyarakat kota. kebudayaan ini telah membunuh sifat solidaritas dan menumbuhkan sifat individualistik dan cenderung berani melanggar norma.

Sebetulnya beberapa budaya pedesaan merupakan jati diri asli bangsa ini. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, seiring masuknya pengaruh asing, budaya itu makin terkikis. Lagi pula sifat budaya memang dinamis. Perubahannya bahkan sering kali terjadi tanpa kita sadari. Contoh sederhana, cobalah menilik foto kita beberapa tahun silam. Bandingkan dengan kita yang sekarang. Tanpa kita sadari, kita juga telah melakukan perubahan, entah dari segi gaya berpakaian, model sepatu, menu makanan yang disantap dan lain sebagainya.

Maka membangkitkan kembali semangat gotong royong, terutama di perkotaan, dapat merevolusi mental masyarakat yang mulai buruk kini. Gotong royong merupakan awalan, selanjutnya budaya luhur bangsa satu per satu dibenahi seperti budaya tepa selira, budaya kumpul sosial dan lain sebagainya. Buatlah aksi awal di lingkungan sekitar. Meski kecil, jika dilakukan banyak orang, tak ayal kepribadian bangsa akan pulih.

Namun untuk membangun semua itu, tentu butuh waktu yang tak singkat. Sembari proses membangun manusia tersebut, pemerintah bertugas memperbaiki sarana prasarana yang ada. Sebut saja meningkatkan kualitas dan kuantitas kereta, memfasilitasi peron yang nyaman untuk mengantre serta menjamin ketepatan waktu kereta.

Jika keduanya berjalan bersama, membangun manusia sekaligus membangun sarana prasarana, bukan hal mustahil bagi Indonesia menyaingi kemajuan dan ketertiban Jepang dalam waktu 10 hingga 20 tahun lagi. 


Published at: ridwanloekito.id
Afriza Web Developer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar