Selasa, 23 Mei 2017

Opini: Indonesia, Negeri Tong Kosong Nyaring Bunyinya


Credit image:  theadmanagers.ca


Beberapa data tentang literasi dan sosial media telah membuktikan negeri ini banyak bicara dan miskin ilmu. Jika diibaratkan dengan pepatah, maka negara ini layaknya tong kosong yang nyaring bunyinya.

Berdasarkan penelitian yang dirilis The World’s Most Literate Nations (WMLN) tahun 2016, Indonesia masuk peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Peringkat ini hanya satu tingkat di atas negara kecil Botswana. Miris bukan?

Lebih dari itu, penelitian lain oleh UNESO di tahun 2002 mengungkap data mencenangkan. Tingkat membaca bangsa ini hanya sebesar 0,001 persen. Artinya, hanya satu orang dari seribu masyarakat yang mau membuka buku dan membacanya. Sungguh memalukan.

Lebih memalukan lagi, Indonesia justru amat sangat berprestasi dalam hal penggunaan media sosial. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memaparkan bahwa negara ini masuk peringkat keempat tertinggi pengguna facebook di dunia. Untuk jumlah pengguna twitter pula, Indonesia masuk peringkat kelima dunia. 

Data masih belum habis. Secara jumlah total, ada 63 juta warga Indonesia yang menggunakan internet. Dari jumlah tersebut, 93 persennya menggunakan internet untuk membuka media sosial. Data dari Webershandwick bahkan menghitung ada 65 juta pengguna facebook dengan 33 juta aktif setiap hari dan 55 juta aktif dalam hitungan bulan. Apa yang dilakukan masyarakat Indonesia saat aktif di media sosial? jawabannya hanya update status dan menimpali komentar. 

Bagaimana jika data sosial media tersebut dibandingkan dengan jumlah pembaca buku di atas, hanya satu dari seribu orang yang membaca buku atau 0,001 persen! Jika menghitung jumlah masyarakat Indonesia sekitar 258 juta penduduk, maka yang aktif membaca buku hanya sekitar 2.580 orang. Bayangkan, 65 juta aktif sosial media sementara buku hanya dibaca 2 ribu orang. Perbandingannya 1:26 ribu!

Data-data tersebut menunjukkan betapa rendahnya minat baca masyarakat namun justru paling vokal di dunia maya. Hasilnya, Indonesia menjadi negara cerewet namun tak berisi. Buktinya, hoax dan fitnah tersebar dimana-mana. Ibarat pepatah, kondisi tanah air tak berbeda dari tong kosong yang jika ditabuh bunyinya amat sangat nyaring.

Budaya literasi sudah semestinya dibangun di negeri ini. Dengan adanya budaya literasi, seorang akan lebih suka menggenggam buku ketimbang gadget. Seorang hanya akan memposting dan berkomentar dari ilmu yang ia miliki dari membaca. Seseorang pula akan memilih pergi ke perpustakaan daripada menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar komputer dan gadget. Seseorang lebih suka menulis buku ketimbang menulis status di sosial media.

Budaya literasi ini bahkan sama pentingnya dengan budaya jujur anti korupsi dan budaya gotong royong. Mengutip ucapan sastrawan AS, Ray Bradbury, "Tidak perlu membakar buku untuk menghancurkan sebuah bangsa. Buat saja masyarakatnya berhenti membaca.”
Sebetulnya pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 yang salah satu isinya yakni penumbuhan karakter melalui membaca. Dengannya dimulai Gerakan Literasi Bangsa (GLB) di sekolah-sekolah yang mengajak para siswa membaca selama 15 menit sebelum memulai pelajaran. Namun apakah ini efektif? Ada beberapa pertanyaan besar mengenai hal ini.

Pertama, mengapa membaca dimulai di sekolah dan bukan di rumah? Tentu saja pelajar lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang sekolah. Satu hal lagi, kita tak tahu berapa lama para pelajar memegang gadget di rumahnya. 

Lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan fasilitas buku yang ada? Meski membangun gerakan literasi, ternyata pemerintah justru mengurangi anggaran perpustakaan. Seperti dikabarkan JPNN, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) mengalami penurunan anggaran di tahun 2016, yakni dari Rp 701 miliar menjadi Rp 612 miliar.

Negeri ini sudah semestinya belajar dari Negara Finlandia. Inilah negara dengan minat baca nomor satu di dunia. Negara ini pula menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia. Bagaimana mereka membangun budaya literasi? Ada lima kebiasaan yang mereka lakukan. Pertama, pemerintah memberikan buku anak untuk ibu yang baru melahirkan; kedua, membangun perpustakaan dimana-mana bahkan seorang ibu yang berbelanja terbiasa menaruh anaknya di perpustakaan; ketiga, mewajibkan pelajar membaca satu buku satu Minggu; keempat, menumbuhkan tradisi orang tua mendongeng sebelum anak tidur; dan kelima yakni tidak mengalih suarakan acara televisi asing sehingga anak mau tak mau membaca subtitlenya.

Sungguh tradisi literasi yang menakjubkan dilakukan negara Eropa tersebut. Tentu tidak sekedipan mata untuk menirunya. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya agar menyamai budaya literasi Finlandia. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi yakni mereka membangun sebuah kebiasaan. Inilah yang patut diteladani, membangun budaya literasi dengan membangun kebiasaan, bukan hanya untuk anak, tapi juga orang tua dan semua kalangan masyarakat. Yakin Indonesia bisa!

Published at: ridwanloekito.id
Afriza Web Developer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar